Project Charter


Project Charter

Seri Manajemen Proyek

Salah satu karakteristik dari sebuah proyek adalah memiliki awal dan akhir. Dalam kerangka PMBOK (Project Management Body of Knowledge by Projek Management Institute/PMI), sebuah proyek diawali oleh penyusunan rencana proyek (project plan). Dasar untuk menyusun rencana proyek ada di kelompok proses Initiating. OK, berarti sebelum menyusun rencana proyek kita perlu melakukan melaksanakan Initiating terlebih dahulu. Apa itu kelompok proses Initiating? Ada dua proses dalam kelompok proses Initiating: 1) Menyusun Project Charter (yang menjadi fokus dari artikel ini) dan 2) mengidentifikasikan stakeholder. Project charter ini yang akan digunakan sebagai dasar bagi manajer proyek untuk menyusun rencana proyek, melaksanakan, memonitoring hingga proyek tersebut selesai. Tentunya project charter ini mengakomodasi keinginan atau harapan dari pemilik dan pendana proyek tersebut.

Wah, ternyata cukup sederhana. Hanya dengan melakukan dua proses saja, kita siap untuk menyusun rencana proyek. Benarkah?

Jawabannya adalah: ya dan tidak. Dapat diibaratkan project charter ini seperti MoU (memorandum of understanding). Kesepakatan bersama antara pemilik, pengguna, atau pendana proyek, serta manajer proyek. Kesepakatan ini tidak seformal kontrak (yang memiliki pasal-pasal detil serta penalti untuk setiap pelanggaran), tetapi menjadi ‘common ground’ bagi pihak-pihak tersebut. Di dokumen ini para stakeholder utama menjabarkan keinginannya, dan manajer proyek memiliki dasar/legalitas untuk mengakses sumber daya dari suatu organisasi untuk melakukan aktivitas proyek. Sudut pandang lain, pemilik proyek atau sponsor adalah pembeli, dan manajer proyek adalah penjual dari output proyek tersebut. Jika manajer proyek berasal dari luar organisasi, tentu diperlukan kontrak yang lebih formal disamping project charter.

Siapakah yang menyusun project charter ini? Biasanya project charter dikeluarkan oleh sponsor atau inisiator proyek. Tetapi tidak menutup kemungkinan manajer proyek jg terlibat dalam penyusunan dokumen ini. Di sini manajer proyek dapat mengambil peran sebagai expert. Peran expert akan dibahas di bagian selanjutnya. Karena harus mengakomodasi seluruh stakeholder Utama yang dapat berasal dari berbagai macam latar belakang, bahasa yang digunakan dalam project charter haruslah bahasa yang dapat dimengerti oleh seluruh stakeholder tersebut. Sepertinya tidak mudah ya.

Kabar baiknya adalah PMBOK telah memberikan panduan bagaimana menyusun project charter (dan dokumen-dokumen proyek lainnya). Seperti halnya proses dalam bidang keilmuan lain, proses dalam manajemen proyek juga memerlukan ‘input’ dan menghasilkan ‘output’. Secara konsisten setiap proses dalam PMBOK ditampilkan dalam pola seperti di gambar 1.

Gambar 1. Skema proses dalam manajemen proyek.

 

Mari kita lihat bagaimana proses menyusun project charter di dalam panduan PMBOK.

Gambar 2. Proses, input, dan output penyusunan project charter

 

Ternyata untuk menyusun sebuah project charter kita memerlukan dokumen-dokumen seperti project statement, business case, agreement, standar/hukum yang berlaku, atau dokumen-dokumen yang dapat berasal dari archive organisasi. Tanpa didasari dokumen-dokumen tersebut tentu menyusun sebuah project charter menjadi tidak mudah. Tidak ada tujuan atau kebutuhan yang jelas. Penjabaran tujuan, kebutuhan, hingga cakupan proyek di dalam project charter pun akan menjadi ambigu dan tidak konsisten.

Setelah memiliki dokumen-dokumen tersebut, apakah manajer proyek dapat langsung menuangkannya ke dalam project charter? Menurut panduan PMBOK sebaiknya penyusunan project charter melibatkan expert (atau tim expert) yang memahami proyek tersebut. Expert dapat berasal dari orang yang berpengalaman dalam (sebagian atau seluruh) proyek yang serupa, atau orang yang memahami teknologi yang digunakan dalam proyek tersebut. Expert dapat berasal dari dalam tim proyek, stakeholder utama, atau dari pihak luar yang tidak terlibat di dalam proyek. Nah, dengan bantuan pengetahuan teknis dari para expert ini lah kita dapat menterjemahkan keinginan para stakeholder utama yang tercantum di dalam dokumen input ke dalam project charter.

Beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam penyusunan project charter adalah sebagai berikut:

  • Judul proyek tidak jelas. Seperti halnya judul sebuah berita atau artikel ilmiah, judul sebuah proyek tentu diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proyek tersebut. Misalnya sebuah proyek dengan judul “Akselerasi partikel” tentu belum memberikan gambaran yang jelas mengenai proyek tersebut. Memang ada beberapa judul proyek yang sengaja dikaburkan untuk menyamarkan tujuan dari proyek tersebut. Misalnya proyek dengan judul “Development of Substitute Materials” yang kita kenal dengan kode “Manhattan Project”. Contoh-contoh judul proyek dapat dilihat di situs worldbank dan universitas Cambridge (proyek riset). Bahkan ada layanan yang dapat membantu kita untuk membuat judul proyek yang menarik.
  • Menggunakan expert yang kurang memahami sisi teknis (dan teknologi) dari proyek tersebut. Seperti yang sudah kita bahas di atas, jika merekrut expert yang kurang memahami sisi teknis proyek, maka penulisan objektif, asumsi dan ukuran performa hasil proyek tidak akan akurat. Akibatnya akan ada gap yang jauh antara kebutuhan stakeholder utama dan hasil proyek. Salah satu kartun di situs knowyourmeme menggambarkan gap yang terjadi dalam sebuah proyek.

Gambar 3. Gap yang terjadi dalam sebuah proyek. sumber: http://knowyourmeme.com/

  • Pernyataan masalah atau opportunity yang tidak terukur. Mengenali masalah atau kesempatan dengan baik menjadi dasar untuk menyusun tujuan proyek. Tanpa tujuan yang terukur, justifikasi perlunya suatu proyek dilaksanakan menjadi sulit untuk dilakukan. Hanya dengan menyatakan bahwa proyek tersebut dilakukan untuk “membantu masyarakat” atau “membuat metoda yang lebih baik” tanpa didukung oleh data yang menunjukkan bahwa masalah atau kesempatan itu ada, tidak menjadikan proyek tersebut cukup layak untuk dilaksanakan. Proyek laptop murah adalah salah satu proyek kontroversif yang baik untuk dipelajari.
  • Objective proyek yang tidak SMART. Project charter yang baik memiliki tujuan yang jelas. Penulisan objektif seperti “pembuatan prototype dapat diselesaikan dengan baik” tidak memberikan gambaran pencapaian tertentu. Bandingkan dengan objektif “Alat dapat melakukan autentikasi dengan benar 80 dari 100 percobaan”, “Perjalanan dapat ditempuh 20% lebih cepat dari titik A ke titik B”, atau “Tingkat penderita demam berdarah berkurang 50% dalam kurun waktu 3 bulan”. Objektif yang terukur, masuk akal, memiliki rentang waktu pencapaian, dan sebagainya (sesuai dengan kaidah SMART) memudahkan tim proyek merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil proyek.
  • Definisi scope proyek kurang jelas. Pernyataan scope sebaiknya mencantumkan apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk dalam proyek. Hal ini untuk menghindari tim proyek terjebak ke dalam ‘lingkaran setan’, yang membuat proyek menjadi tidak pernah selesai.

Sekian mengenai Project Charter. Semoga dapat membantu dalam memahami dan menyusun dokumen Project Charter dalam suatu proyek.

Referensi:

Project Management Institute (2017) A Guide to the Project Management Body of Knowledge, Project Management Institute Inc.

Pinto, J.K. (2016) Project Management: Achieving Competitive Advantage 4th Edition, Pearson Education.

Sokowski, D.W (20) Project Management Integration And Scope: A Framework for Strategizing and Defining Project Objectives and Deliverables, Pearson Education, New Jersey.

http://www.sigmamagic.com/forum/archives/104, diakses: 20 September 2017.


Leave a Reply